Monday, May 16, 2011

DUNIA ISLAM

    •  Sejarah Hidup Muhammad Saw : Ketika Umar BerIslam

    Waktu itu Umar bin Khathab adalah pemuda yang gagah perkasa, berusia antara tiga puluh dan  tiga puluh  lima  tahun. Tubuhnya  kuat  dan  tegap,  penuh emosi dan cepat naik darah. Kesenangannya berfoya-foya dan minum-minuman keras. Namun terhadap keluarga ia bijaksana dan lemah-lembut. Dari kalangan Quraisy dialah yang paling keras memusuhi kaum Muslimin. Tatkala itu Muhammad SAW sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya yang tidak ikut hijrah, dalam sebuah rumah di Shafa. Di antara mereka ada Hamzah pamannya, Ali bin Abi Thalib sepupunya, Abu Bakar dan Muslimin yang lain. Pertemuan  mereka  ini  diketahui  Umar. Ia pun pergi ke tempat mereka, hendak membunuh Muhammad. Dengan demikian bebaslah Quraisy, dan mereka kembali bersatu setelah mengalami perpecahan. Di tengah jalan ia bertemu dengan Nu'aim bin Abdullah. Setelah mengetahui maksudnya, Nu'aim berkata, "Umar, engkau  menipu  diri  sendiri.  Kau kira keluarga  Abdi Manaf akan membiarkanmu merajalela begini sesudah engkau membunuh Muhammad? Tidak, lebih baik kau pulang saja ke rumah dan perbaiki keluargamu sendiri!" Pada  waktu  itu  Fatimah,  saudaranya,  beserta Sa'id bin Zaid suaminya sudah masuk Islam. Setelah mengetahui hal ini dari Nu'aim, Umar cepat-cepat pulang dan langsung menemui mereka. Di tempat itu ia mendengar ada orang  membaca Al-Qur'an. Setelah  merasa ada orang yang sedang mendekati, orang yang membaca itu sembunyi dan Fatimah menyembunyikan lembaran yang dibawanya. "Aku mendengar suara bisik-bisik apa itu?" tanya Umar. Karena mereka tidak mengakui, Umar membentak lagi dengan suara lantang. "Aku sudah mengetahui, kamu menjadi pengikut Muhammad dan menganut agamanya!"  katanya  sambil  menghantam Sa'id keras-keras. Fatimah, yang berusaha hendak  melindungi suaminya, juga mendapat pukulan keras. Kedua suami isteri itu marah. "Ya,  kami  sudah  Islam.  Sekarang  lakukan apa saja maumu!" teriak mereka. Namun Umar jadi gelisah sendiri setelah melihat darah di muka saudaranya  itu.   Ketika itu juga lalu timbul rasa iba dalam hatinya. Ia menyesal. Dimintanya kepada  saudaranya supaya lembaran yang mereka baca itu diberikan kepadanya.  Setelah membacanya, wajah Umar tiba-tiba berubah. Ia merasa menyesal sekali atas  perbuatannya. Bergetar jiwanya setelah membaca isi lembaran itu. Ada sesuatu yang  luar biasa dan agung yang ia rasakan. Ada sebuah seruan yang begitu luhur. Sikapnya jadi lebih bijaksana. Ia keluar membawa hati yang sudah lembut dan jiwa yang tenang. Ia langsung menuju  ke tempat Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya berkumpul di Shafa. Ia meminta izin masuk, lalu menyatakan dirinya masuk Islam. Dengan adanya Umar dan Hamzah dalam barisan Islam, maka kaum Muslimin mendapat benteng dan perisai yang lebih kuat. Dengan Islamnya Umar, kedudukan Quraisy menjadi lemah. Mereka kembali mengadakan pertemuan guna menentukan langkah lebih lanjut. Sebenarnya peristiwa  ini telah memperkuat kedudukan kaum Muslimin, telah memberikan unsur baru berupa kekuatan yang luar biasa yang menyebabkan kedudukan Quraisy terhadap kaum Muslimin dan kedudukan mereka terhadap Quraisy sudah tidak seperti dulu lagi. Keadaan kedua belah pihak ini kemudian diteruskan oleh suatu perkembangan politik baru; penuh dengan peristiwa, pengorbanan dan kekerasan hingga menyebabkan terjadinya hijrah dan munculnya Muhammad sebagai politikus di samping sebagai Nabi dan Rasul.

  • Sejarah Hidup Muhammad SAW: Raja yang Bijak

      Kedua orang utusan itu adalah Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah. Kepada Najasyi dan  para pembesar istana mereka mempersembahkan hadiah-hadiah dengan  maksud agar mereka sudi mengembalikan orang-orang yang hijrah dari Makkah itu. "Paduka  Raja,"  kata mereka, "Penduduk Makkah yang datang ke negeri paduka ini adalah budak-budak kami yang tidak punya malu. Mereka meninggalkan agama bangsanya  dan  tidak pula menganut agama paduka. Mereka membawa agama  yang  mereka ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga paduka. Kami diutus kepada paduka oleh pemimpin-pemimpin mereka,  oleh orang-orang  tua, paman mereka dan keluarga mereka sendiri, supaya paduka sudi mengembalikan orang-orang itu." Sebenarnya kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan dengan pembesar-pembesar istana, setelah menerima hadiah-hadiah dari penduduk Makkah, mereka akan membantu  usaha  mengembalikan  kaum Muslimin itu kepada pihak Quraisy. Pembicaraan mereka ini tidak diketahui raja. Tetapi  baginda  menolak  sebelum mendengar sendiri keterangan dari  pihak Muslimin.  Lalu  dimintanya  mereka  datang menghadap. "Agama  apa  ini  yang  sampai  membuat tuan-tuan meninggalkan masyarakat tuan-tuan sendiri, tetapi tidak  juga tuan-tuan menganut agamaku,  atau  agama  lain?"  tanya Najasyi setelah mereka datang. Yang diajak bicara ketika itu ialah Ja'far bin Abi Thalib. "Paduka Raja,"  katanya,  "Ketika  itu  kami  masyarakat  yang bodoh,  kami  menyembah berhala, bangkai pun kami makan. Segala kejahatan kami lakukan, memutuskan  hubungan  dengan kerabat, dengan  tetangga pun  kami  tidak baik, yang kuat menindas yang lemah. Demikian keadaan kami, sampai Tuhan  mengutus  seorang rasul  dari  kalangan kami yang sudah kami kenal asal usulnya, dia jujur, dapat dipercaya dan bersih pula." Ja'far melanjutkan, "Ia mengajak  kami menyembah  hanya  kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan batu-batu  dan  patung-patung  yang  selama itu kami sembah.  Ia menganjurkan kami untuk tidak berdusta untuk berlaku jujur serta  mengadakan  hubungan keluarga  dan  tetangga yang baik, serta menyudahi pertumpahan darah dan  perbuatan  terlarang  lainnya.  Ia  melarang  kami memakan harta anak yatim atau mencemarkan  wanita-wanita  yang bersih. Ia meminta kami menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Selanjutnya kami disuruh melakukan shalat, membayar zakat dan berpuasa." "Karena itulah, tambah Ja'far, "Masyarakat  kami  memusuhi  kami, menyiksa dan  menghasut supaya meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala, kembali membenarkan segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu. Oleh karena mereka memaksa, menganiaya, menekan dan menghalang-halangi kami dari agama kami, maka kami pun keluar pergi ke negeri tuan ini. Tuan jugalah  yang  menjadi  pilihan kami. Senang sekali kami berada di dekat tuan, dengan harapan di sini takkan ada penganiayaan." "Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat tuan-tuan bacakan kepada kami?" tanya Raja itu lagi. "Ya,"  jawab  Ja'far, lalu membacakan Surah Maryam dari ayat pertama sampai pada firman Allah: "...maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: 'Bagaimana  kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?' Berkata Isa, 'Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali!" (QS Maryam: 29-33). Setelah mendengar bahwa keterangan itu membenarkan apa yang tersebut dalam  Injil, pemuka-pemuka istana terkejut. "Kata-kata yang keluar dari sumber yang mengeluarkan kata-kata Yesus Kristus," kata mereka. Najasyi lalu berkata (kepada kedua orang utusan Quraisy), "Kata-kata ini dan yang dibawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama. Tuan-tuan pergilah. Kami takkan menyerahkan mereka kepada tuan-tuan!" Keesokan harinya Amr bin Ash kembali menghadap Raja dengan mengatakan bahwa  kaum Muslimin mengeluarkan tuduhan yang luar biasa terhadap Isa anak Maryam.  "Panggillah mereka dan tanyakan apa yang mereka katakan itu!" perintah Najasyi. Setelah mereka datang, Ja'far berkata, "Tentang dia, pendapat kami seperti yang dikatakan Nabi kami. Dia adalah hamba Allah dan utusan-Nya, ruh-Nya dan firman-Nya yang disampaikan kepada perawan Maryam." Najasyi lalu mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di lantai. Dan dengan gembira berkata, "Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini." Setelah mendengar keterangan dari kedua belah pihak, nyatalah bagi Najasyi, bahwa kaum Muslimin itu mengakui  Isa, mengenal adanya Kristen dan menyembah Allah. Selama di Abisinia kaum Muslimin merasa aman dan tenteram. Ketika kemudian disampaikan kepada mereka, bahwa permusuhan pihak Quraisy sudah berangsur  reda, mereka lalu kembali ke Makkah untuk pertama kalinya. Sementara Rasulullah SAW pun masih di Makkah. 
  • Sejarah Hidup Muhammad SAW: Hijrah yang Pertama

  Sikap dan   kata-kata keponakannya  itu oleh  Abu  Thalib disampaikan  kepada  Bani   Hasyim  dan Bani Muthalib. Dimintanya  supaya Muhammad dilindungi dari tindakan  Quraisy. Mereka semua menerima usul  ini,  kecuali  Abu  Lahab. Ia terang-terangan menyatakan  permusuhannya. Abu Lahab menggabungkan diri dengan pihak lawan.

Periode yang dilalui Muhammad SAW ini adalah periode paling dahsyat yang pernah dialami oleh sejarah umat manusia. Baik Muhammad atau mereka yang menjadi pengikutnya, bukanlah orang-orang yang menuntut harta kekayaan, kedudukan atau kekuasaan, melainkan orang-orang yang menuntut kebenaran.

Nabi Muhammad adalah orang yang mengharapkan bimbingan bagi mereka yang  mengalami  penderitaan, dan membebaskan  mereka  dari belenggu paganisme yang rendah, yang menyusup ke dalam jiwa manusia sampai ke lembah kehinaan yang sangat memalukan.

Demi tujuan rohani yang luhur itulah, Rasulullah mengalami siksaan. Penyair-penyair   memakinya, orang-orang Quraisy berkomplot hendak membunuhnya di Ka'bah. Rumahnya dilempari  batu,  keluarga dan pengikut-pengikutnya diancam. Namun itu semua malah membuat beliau makin tabah dan gigih meneruskan dakwah.

Pada suatu  hari Abu Jahal bertemu dengan Muhammad SAW, ia mengganggunya, memaki-makinya dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Namun Rasulullah tidak melayaninya. Ditinggalkannya Abu Jahal tanpa sepatah kata pun.

Hamzah, pamannya dan saudaranya sesusuan, yang masih berpegang pada kepercayaan Quraisy, adalah seorang  laki-laki  yang  kuat  dan  ditakuti. Ia  mempunyai kegemaran  berburu. Bila ia kembali dan berburu, terlebih dulu mengelilingi Ka'bah sebelum langsung pulang ke rumahnya.

Hari itulah ia mengetahui bahwa keponakannya mendapat gangguan Abu Jahal. Ia marah dan langsung pergi ke Ka’bah dan menemui Abu Jahal. Setelah dijumpainya, diangkatnya busurnya lalu dipukulkannya keras-keras di kepala Abu Jahal. Beberapa orang dan Bani Makhzum mencoba membela Abu Jahal. Namun tidak jadi. Mereka khawatir akan timbul bencana yang membahayakan.

Setelah itulah kemudian Hamzah menyatakan masuk Islam. Ia berjanji kepada Muhammad akan membelanya dan akan berkorban di jalan Allah sampai akhir hayatnya.

Pihak Quraisy merasa sesak  dada  melihat  Muhammad  dan kawan-kawannya makin hari makin kuat. Di samping itu, gangguan dan  siksaan  yang  dialamatkan  kepada  mereka,  tidak  dapat mengurangi iman mereka dan tidak dapat  menghalangi  mereka melakukan kewajiban agama.

Terpikir oleh Quraisy akan membebaskan diri dari Muhammad, dengan  cara seperti yang mereka bayangkan, memberikan segala keinginannya. Mereka rupanya lupa bahwa keagungan dakwah  Islam,  kemurnian esensi  ajaran  ruhaninya  yang  begitu tinggi, berada di atas segala pertentangan ambisi politik.

Utbah bin  Rabiah,  seorang bangsawan  Arab  terkemuka,  mencoba  membujuk  Quraisy ketika mereka bertemu dan mengatakan bahwa ia akan bicara dengan  Muhammad dan menawarkan hal-hal yang barangkali mau diterimanya. Mereka mau  memberikan apa saja kehendaknya, asal ia dapat dibungkam.

Ketika itulah Utbah bicara dengan Muhammad. "Anakku,"  katanya, "Seperti kau ketahui, dari segi keturunan, engkau mempunyai tempat di kalangan kami. Engkau telah membawa soal besar ke tengah-tengah masyarakatmu, sehingga mereka cerai-berai  karenanya.  Sekarang dengarkanlah, kami akan menawarkan beberapa hal,  kalau-kalau  sebagian  dapat kau terima. Kalau dalam hal ini yang kau inginkan  adalah  harta, kami pun siap mengumpulkan harta kami. Sehingga hartamu akan menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki kedudukan, kami  angkat engkau di atas kami semua. Kami takkan memutuskan  suatu  perkara  tanpa  persetujuanmu. Kalau kedudukan  raja  yang  kau inginkan,  kami nobatkan kau sebagai raja kami."

Selesai ia bicara, Muhammad membacakan Surah As-Sajdah. Utbah terdiam mendengarkan kata-kata yang begitu indah itu. Dilihatnya sekarang yang berdiri di  hadapannya  itu  bukanlah seorang  laki-laki  yang  didorong  oleh  ambisi  harta, kedudukan  atau  kerajaan, juga  bukan  orang   yang   sakit, melainkan orang yang mau menunjukkan kebenaran, mengajak orang kepada kebaikan. Ia  mempertahankan sesuatu  dengan  cara  yang baik, dengan kata-kata penuh mukjizat.

Selesai  Muhammad SAW membacakan  itu, Utbah pergi kembali kepada Quraisy.  Apa  yang  dilihat  dan   didengarnya itu sangat memesonakan dirinya. Ia terpesona karena kebesaran orang itu. Penjelasannya sangat menarik sekali. Penjelasan Utbah ini tidak menyenangkan pihak Quraisy. Juga pendapatnya supaya Muhammad dibiarkan saja, tidak menggembirakan mereka.

Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi, sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya.  Waktu itu Nabi SAW menyarankan  supaya  mereka berpencar-pencar. Ketika mereka bertanya kepadanya  kemana  mereka  akan  pergi, Rasulullah menasihati supaya mereka pergi ke Abisinia yang rakyatnya menganut agama Kristen. "Tempat itu  diperintah  seorang  raja dan tak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi jujur, sampai nanti Allah membukakan jalan buat kita semua," kata Rasulullah.

Sebagian kaum Muslimin lalu berangkat ke Abisinia guna menghindari  fitnah  dan  tetap mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melakukan dua kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar dari Makkah  mencari  perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat yang baik di bawah Najasyi, penguasa Abisinia.

Ketika kemudian tersiar berita bahwa kaum Muslimin di Makkah telah selamat dari  gangguan Quraisy, mereka pun lalu kembali pulang. Namun ternyata mereka mengalami kekerasan lagi dari Quraisy, melebihi yang sudah-sudah. Mereka pun kembali lagi ke Abisinia. Kali  ini  terdiri  dari  delapan puluh orang pria tanpa kaum istri  dan  anak-anak. Mereka  tinggal di Abisinia hingga Nabi SAW hijrah ke Yatsrib. 
  •  Sejarah Hidup Muhammad SAW: Sang Nabi Terakhir
  Khadijah pergi menjumpai saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal.  Waraqah adalah  seorang  penganut  agama  Nasrani  yang sudah mengenal Injil dan  sudah  pula  menerjemahkannya  sebagian  ke  dalam bahasa  Arab. Khadijah menuturkan apa yang dilihat dan didengar Muhammad.

Waraqah  menekur  sebentar, kemudian berkata, "Maha  Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang  hidup  Waraqah.  Khadijah,  percayalah! Dia telah menerima  Namus  Besar seperti yang pernah diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat  ini.  Katakan  kepadanya  supaya tetap tabah!"

Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia menggigil, napasnya terlihat sesak dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya malaikat datang membawakan wahyu kepadanya: "Hai orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan  peringatan. Dan  agungkan  Tuhanmu.  Pakaianmu pun bersihkan. Dan hindarkan perbuatan dosa. Jangan  kau  memberi,  karena  ingin  menerima lebih  banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu." (QS Al-Muddatstsir: 17).

"Waktu tidur dan istirahat  sudah  tak  ada  lagi,  Khadijah," katanya. "Jibril   membawa perintah supaya  aku  memberi peringatan kepada umat manusia, mengajak  mereka,  dan  supaya mereka  beribadah  hanya  kepada  Allah.  Tapi siapa yang akan kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?"

Sesudah  peristiwa  itu,  pada  suatu hari Muhammad pergi akan mengelilingi  Ka'bah.  Di tempat itu Waraqah menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqah berkata, "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqah.  Engkau  adalah Nabi  atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang  pernah  disampaikan  kepada  Musa.  Pastilah   kau   akan didustakan   orang,   akan   disiksa,  akan  diusir  dan  akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup,  pasti aku  akan  membela  yang  di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahui-Nya pula."

Sekarang Rasulullah SAW berpikir, bagaimana akan mengajak Quraisy supaya turut beriman, padahal ia tahu benar mereka sangat kuat mempertahankan  kebatilan  itu.  Mereka bersedia berperang dan mati untuk itu. Ditambah  lagi  mereka  masih  sekeluarga  dan sanak famili yang dekat.

Sementara ia dalam kekhawatiran, sesudah sekian  lama  terhenti, tiba-tiba datang Jibril membawa firman Allah: "Demi pagi cerah yang gemilang. Dan  demi  malam  bila senyap kelam.  Tuhanmu  tidak  meninggalkan  kau,  juga  tidak merasa benci. Dan sungguh, hari kemudian  itu  lebih  baik  buat  kau daripada  yang  sekarang.  Dan  akan segera ada pemberian dari Tuhan kepadamu. Maka engkau pun akan bersenang  hati. Bukankah Ia mendapati kau seorang yatim,  lalu  diberi-Nya  tempat berlindung?  Dan  Ia  mendapati  kau  tak  tahu  jalan,   lalu diberi-Nya  kau  petunjuk?  Karena  itu,  terhadap  anak yatim,  jangan kau bersikap bengis. Dan tentang orang  yang  meminta, jangan  kau  tolak.  Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau sebarkan." (QS Adh-Dhuha: 1-11)

Allah SWT kemudian mengajarkan  Nabi shalat,   maka  ia pun shalat,  Khadijah  ikut  pula shalat. Selain puteri-puterinya, tinggal bersama keluarga itu Ali  bin Abi Talib  sebagai anak muda yang belum baligh.

Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang shalat, tiba-tiba Ali menyeruak masuk.  Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku' dan sujud serta membaca beberapa ayat  Al-Qur'an yang sampai pada waktu itu sudah diwahyukan kepadanya.

Ali berdiri tertegun,  "Kepada  siapa  kalian  sujud?" tanyanya setelah selesai shalat.

"Kami  sujud  kepada  Allah," jawab Nabi SAW. "Yang mengutusku menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia menyembah Allah."

Lalu Muhammad pun mengajak sepupunya itu beribadah kepada Allah semata, tiada bersekutu serta menerima agama yang dibawa Nabi utusan-Nya, dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Lata dan Uzza. Muhammad lalu  membacakan  beberapa  ayat  Qur'an.  Ali sangat terpesona karena ayat-ayat itu luar biasa indahnya.
  • Sejarah Hidup Muhammad SAW: Pemilik Gelar Al-Amin

Muhammad tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia  dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Makkah dengan keluarga,  kadang  pergi  bersama  mereka   ke pasar-pasar yang berdekatan dengan Ukaz, Majanna dan Dzu'l Majaz,  mendengarkan sajak-sajak  yang  dibawakan  oleh penyair-penyair Mudhahhabat  dan  Mu'allaqat.

Ia mendambakan cahaya hidup yang  akan lahir dalam  segala  manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan  ini  dibuktikan  oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak ia masih anak-anak, gejala kesempurnaan, kedewasaan dan  kejujuran  hatinya, sudah tampak. Sehingga semua penduduk Makkah memanggilnya Al-Amin (yang dapat dipercaya).

Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, adalah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan  kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Dengan gembira ia  menyebutkan  saat-saat yang  dialaminya  pada  waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata, "Nabi-nabi yang diutus Allah  itu  gembala  kambing. Musa  diutus,  dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing. Aku diutus, juga gembala  kambing keluargaku di Ajyad."

Gembala kambing  yang  berhati  terang  itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau  bintang  bila  malam sudah  bertahta,  menemukan  suatu  tempat  yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam demikian, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu. Dalam  pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya sendiri.

Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran  nafsu  manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh sebab itu, dalam  perbuatan  dan tingkah-lakunya, Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Makkah, dan memang begitu adanya: Al-Amin.

Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat  terasa  benar nikmatnya,  ialah  bila  ia sedang berpikir atau merenung. Dan kehidupan berpikir dan merenung serta  kesenangan bekerja sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara hidup yang  membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya.  Dan memang  tidak  pernah memedulikan hal itu. Dalam hidupnya ia memang menjauhkan diri dari  segala  pengaruh materi.

Bukankah  dia juga yang pernah berkata, "Kami adalah golongan yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak sampai  kenyang?"  Bukankah  dia juga yang sudah dikenal orang hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara hidup yang mengejar harta dengan  serakah demi pemenuhan hawa nafsu, sama sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama  hidupnya.

Suatu ketika ia mendengar berita, bahwa Khadijah binti Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita  pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Bani) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali menikah dengan keluarga Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Makkah terkaya. Ia menjalankan bisnisnya dengan bantuan sang ayah, Khuwailid, dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya.

Tatkala Abu Thalib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil keponakannya—yang ketika itu sudah berumur dua puluh lima tahun.

"Anakku," kata Abu Thalib, "Aku bukan orang  berpunya.  Keadaan makin menekan  kita juga. Aku mendengar,  bahwa  Khadijah mengupah orang dengan dua ekor  anak  unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"

"Terserah paman," jawab Muhammad.

Abu Talib pun pergi mengunjungi Khadijah:

"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Thalib. "Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."

"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai,  akan  kukabulkan,  apalagi buat orang yang dekat dan kusukai." Demikian jawab Khadijah.

Kembalilah sang paman kepada keponakannya dengan  menceritakan peristiwa  itu.  "Ini  adalah  rejeki  yang  dilimpahkan Tuhan kepadamu," katanya.

Setelah mendapat nasihat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara,  budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itu pun berangkat   menuju Syam. Perjalanan ini menghidupkan kembali kenangannya tentang perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini membuatnya lebih banyak bermenung, berpikir tentang segala yang pernah dilihat dan didengar sebelumnya; tentang peribadatan dan  kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-pasar sekeliling Makkah.

Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar  memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara bisnis yang lebih  menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Setelah tiba waktunya kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Mar'z Zahran. Ketika itu Maisara   berkata, "Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."

Muhammad berangkat dan tengah  hari  sudah  sampai  di  Makkah. Ketika   itu  Khadijah  sedang  berada  di  ruang  atas.  Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan  sudah  memasuki  halaman rumahnya,  ia  turun  dan  menyambutnya.  Didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta  laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah  gembira dan  tertarik  sekali  mendengarkan. 

Sesudah  itu,  Maisara pun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tinggi budi pekertinya. Hal ini menambah  pengetahuan  Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Makkah yang besar jasanya.

Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia—yang sudah berusia empat puluh tahun dan telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy—tertarik  juga hatinya  mengawini  pemuda  ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia  membicarakan  hal itu  kepada  saudaranya  yang  perempuan—kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa  binti  Munya—kata  sumber lain.
Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata, "Kenapa kau tidak mau kawin?"

"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,"  jawab Muhammad.

"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kau terima?"

"Siapa itu?"

Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata, "Khadijah!"

"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan  kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.

Setelah pertanyaan itu Nufaisa berkata, "Serahkan hal itu kepadaku."

Maka Muhammad pun menyatakan persetujuannya. Tak  lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari pernikahan.

Kemudian pernikahan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah,  Umar  bin  Asad,  sebab  Khuwailid  ayahnya sudah meninggal  sebelum  Perang  Fijar.  Hal  ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan,  bahwa  ayahnya  ada tapi  tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan  dengan  begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.

Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan sebagai suami-isteri dan ibu-bapak. Suami-isteri yang harmonis dan sebagai ibu-bapak yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak, sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapak ketika masih kecil.
  • Sejarah Hidup Muhammad SAW: Ditinggal Orang-Orang Terkasih

  Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang  indah  dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya, tempat dia  menumpahkan  rasa  kasih sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Penduduk  daerah  itu  pernah  mengalami  suatu  masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air  dan  empat  puluh  ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan.

Sesudah  lima  tahun, Muhammad kembali kepada ibunya. Kemudian Abdul Muthalib mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya dengan sungguh-sungguh dan mencurahkan kasih sayangnya kepada cucu ini.

Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Madinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar.

Dalam perjalanan itu dibawanya juga Ummu Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Madinah, kepada anak itu  diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Madinah, Aminah sudah bersiap-siap  akan  pulang. Ia  dan  rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Makkah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai  di Abwa', ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.

Anak  itu  oleh  Ummu  Aiman  dibawa  pulang  ke Makkah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan  menjadi  anak  yatim. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari ibundanya keluhan duka kehilangan ayah semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri di hadapannya, sang ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayahnya dulu. Tubuh  yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.

Lebih-lebih  lagi  kecintaan Abdul Muthalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih menggurat dalam jiwanya sehingga di dalam Qur'an pun disebutkan,  ketika  Allah  mengingatkan  Nabi  akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: "Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakan-Nya orang yang akan melindungimu?  Dan  menemukan  kau  kehilangan  pedoman, lalu ditunjukkan-Nya jalan itu?" (QS Adh-Dhuha: 6-7)

Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan  terasa  agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abdul Muthalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua  itu  juga  meninggal, dalam  usia delapan puluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan  tahun. Sekali lagi  Muhammad  dirundung kesedihan  karena  kematian  kakeknya  itu, seperti yang sudah dialaminya  ketika  ibunya  meninggal.  Begitu  sedihnya  dia, sehingga   selalu  ia  menangis  sambil  mengantarkan  keranda jenazah sampai ke tempat peraduan terakhir.

Bahkan sesudah itu pun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah  itu,  di  bawah asuhan Abu Thalib pamannya ia mendapat perhatian  dan  pemeliharaan  yang   baik sekali. mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian hingga pamannya itu pun akhirnya meninggal.

Pengasuhan Muhammad dipegang oleh Abu  Thalib,  sekalipun  dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harits, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu, ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada  (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Thalib mempunyai  perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan  kalau Abdul Muthalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepadanya.

Abu Thalib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abdul Muthalib juga. Karena kecintaannya itu  ia  mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah  yang lebih menarik hati pamannya.

Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan—ketika itu usia Muhammad baru duabelas tahun—mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan  membawa  Muhammad. Akan  tetapi  Muhammad  yang  dengan  ikhlas  menyatakan  akan menemani pamannya  itu. Hal inilah yang menghilangkan  sikap ragu-ragu dalam hati Abu Thalib.

Anak  itu  lalu  turut  serta  dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di  sebelah  selatan  Syam.  Dalam  buku-buku riwayat  hidup  Muhammad  diceritakan,  bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira,  dan  bahwa  rahib  itu telah  melihat  tanda-tanda  kenabian  padanya  sesuai  dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu  menasehatkan  keluarganya  supaya  jangan terlampau  dalam  memasuki  daerah Syam, sebab dikhawatirkan orang-orang Yahudi  yang  mengetahui  tanda-tanda  itu  akan berbuat jahat terhadap dia.

Tampaknya Abu Thalib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Makkah mengasuh anak-anaknya yang banyak  sekalipun dengan harta yang tidak  seberapa.
  • Sejarah Hidup Muhammad SAW: Sang Calon Nabi

Dua tahun lagi anak itu tinggal  di  sahara,  menikmati  udara pedalaman  yang  jernih  dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.

Pada masa itu, sebelum usianya mencapai  tiga tahun, ketika itulah  terjadi  cerita  yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara  ia  dengan  saudaranya  yang  sebaya itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak Keluarga Sa'ad itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapaknya, "Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki  berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikkan."

Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan. Halimah berkata, "Lalu saya pergi dengan ayahnya (suaminya) ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri.  Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan, 'Kenapa kau, Nak?' Dia menjawab, 'Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku dibedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari."

Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu kesurupan. Sesudah  itu, dibawanya  anak  itu  kembali  kepada  ibunya  di Makkah.

Atas peristiwa ini Ibnu Ishaq membawa sebuah hadits Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibnu Ishaq nampaknya  hati-hati  sekali  dan   mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan—seperti cerita Halimah kepada Aminah—ketika  ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia  memerhatikan Muhammad  dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu.

Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata, "Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di  negeri  kami. Anak  ini  akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya."
Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri  dari mereka  dengan  membawa  anak  itu.

Baik kaum orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat  ini  dan menganggap sumber  itu lemah  sekali.  Yang  melihat  kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah  itu hanya  anak-anak  yang  baru  dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Muhammad waktu itu.

Akan tetapi sumber-sumber itu   sependapat   bahwa  Muhammad  tinggal  di  tengah-tengah Keluarga Sa'ad itu sampai mencapai usia lima  tahun.  Andaikata peristiwa  itu  terjadi  ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan  suaminya  mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu, beberapa  penulis berpendapat,  bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya.

Dalam hal ini, Sir William Muir tidak  mau  menyebutkan  cerita tentang  dua  orang  berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan  pada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf. Dan kalau hal itu tidak sampai mengganggu  kesehatannya  ialah karena bentuk tubuhnya yang baik.

Barangkali yang lain pun  akan mengatakan, baginya  tidak diperlukan  lagi  akan  ada  yang harus membelah perut atau dadanya. Sebab sejak dilahirkan, Tuhan sudah  mempersiapkannya supaya menjalankan risalah-Nya. Dermenghem berpendapat, cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat  yang berbunyi, "Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?" (QS Al-Insyirah: 1-3).

Apa  yang  telah  diisyaratkan  Qur'an  itu  adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan  (menyucikan) dan  mencuci  hati  yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya,  dengan  menanggung  segala beban karena Risalah yang berat itu.

Dengan  demikian  apa  yang  diminta  oleh kaum orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat perikemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat  kenabiannya  itu memang  tidak  perlu  ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh  mereka  yang  suka  kepada  yang  ajaib-ajaib.

Dengan  demikian,  mereka  beralasan  sekali  menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang  tidak  masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa  yang  diminta  oleh Al-Qur'an supaya   merenungkan   ciptaan   Tuhan,   dan   bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan  ekspresi  Qur'an  tentang  kaum Musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'ad sampai mencapai usia lima tahun,  menghirup  jiwa  kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang  lepas  itu.  Dari   kabilah   ini   ia   belajar mempergunakan  bahasa  Arab  yang  murni,  sehingga  pernah ia berkata kepada teman-temannya kemudian,  "Aku  yang  paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa'ad bin Bakr."
  • Sejarah Hidup Muhammad SAW: Terpuji Bagi Tuhan

 Aminah pun hamil, dan kemudian, seperti  wanita  lain ia pun melahirkan. Selesai  bersalin dikirimnya berita kepada Abdul Muthalib  di  Ka'bah,  bahwa  ia   melahirkan   seorang  anak laki-laki. 

Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu  dibawanya ke Ka'bah. Ia diberi nama Muhammad.

Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya  bayi  itu  kepada  ibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang akan menyusukannya  dari  Keluarga Sa'ad (Banu  Sa'ad),  untuk  kemudian  menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan Arab di Makkah.

Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi).  Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu  limabelas tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan ia dilahirkan beberapa hari  atau  beberapa  bulan  atau  juga beberapa  tahun  sesudah  Tahun  Gajah. Ada yang menaksir tiga puluh tahun, dan ada  juga  yang  menaksir  sampai  tujuhpuluh tahun.

Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya. Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada yang  berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat dalam bulan Safar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab, sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadan.

Perbedaan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan. Satu pendapat mengatakan pada malam kedua  Rabiul  Awal,  atau malam   kedelapan,   atau   kesembilan.  Tetapi  pada  umumnya mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal duabelas  Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.

Pada  hari  ketujuh  kelahirannya  itu  Abdul Muthalib   minta disembelihkan   unta.   Hal  ini  kemudian  dilakukan  dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa  anak  itu  diberi  nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek  moyang.  "Kuinginkan dia akan menjadi  orang  yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi," jawab Abdul Muthalib.

Aminah masih menunggu  akan  menyerahkan  anaknya  itu  kepada salah  seorang  Keluarga Sa'ad yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan  bangsawan-bangsawan  Arab di    Makkah.  Adat   demikian   ini   masih   berlaku pada bangsawan-bangsawan Makkah. Pada hari kedelapan sesudah dilahirkan  anak  itu pun  dikirimkan  ke  pedalaman  dan  baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh tahun.  Di  kalangan  kabilah-kabilah  pedalaman yang terkenal dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa'ad.

Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi  mereka  adalah  saudara susuan.

Akhirnya  datang  juga  wanita-wanita  Keluarga Sa'ad yang akan menyusukan itu ke Makkah. Mereka memang mencari bayi yang  akan mereka  susukan.  Akan  tetapi  mereka menghindari  anak-anak yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa  dari sang  ayah. 

Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu, di antara  mereka  itu tak  ada  yang  mau  mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka harapkan.

Akan tetapi Halimah binti Abi Dzua'ib yang pada mulanya menolak Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat bayi  lain  sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang seorang  wanita  yang  kurang  mampu,  ibu-ibu  lain pun  tidak menghiraukannya.

Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Makkah. Halimah berkata kepada Harits bin Abdul Uzza suaminya, "Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga."

"Baiklah," jawab  suaminya. "Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita."

Halimah  kemudian  mengambil  Muhammad  dan  dibawanya pergi bersama-sama   dengan  teman-temannya   ke pedalaman. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa  mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan  susunya pun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.

Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara,  disusukan  oleh Halimah  dan  diasuh oleh Syaima', puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang  kasar  menyebabkannya  cepat  sekali menjadi  besar,  dan  menambah  indah  bentuk  dan pertumbuhan badannya.

Setelah cukup dua tahun dan  tiba  masanya  disapih, Halimah  membawa  anak  itu  kepada  ibunya  dan  sesudah  itu membawanya kembali ke pedalaman.  Hal  ini  dilakukan  karena kehendak  ibunya,  kata sebuah keterangan. Dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih  matang,  juga  memang  dikhawatirkan adanya serangan wabah Makkah.





























No comments:

Post a Comment