Sejarah Hidup Muhammad Saw : Ketika Umar BerIslam
Sejarah Hidup Muhammad SAW: Raja yang Bijak
Waktu itu Umar bin Khathab adalah pemuda yang gagah perkasa, berusia antara tiga puluh dan tiga puluh lima tahun. Tubuhnya kuat dan tegap, penuh emosi dan cepat naik darah. Kesenangannya berfoya-foya dan minum-minuman keras. Namun terhadap keluarga ia bijaksana dan lemah-lembut. Dari kalangan Quraisy dialah yang paling keras memusuhi kaum Muslimin. Tatkala itu Muhammad SAW sedang berkumpul dengan sahabat-sahabatnya yang tidak ikut hijrah, dalam sebuah rumah di Shafa. Di antara mereka ada Hamzah pamannya, Ali bin Abi Thalib sepupunya, Abu Bakar dan Muslimin yang lain. Pertemuan mereka ini diketahui Umar. Ia pun pergi ke tempat mereka, hendak membunuh Muhammad. Dengan demikian bebaslah Quraisy, dan mereka kembali bersatu setelah mengalami perpecahan. Di tengah jalan ia bertemu dengan Nu'aim bin Abdullah. Setelah mengetahui maksudnya, Nu'aim berkata, "Umar, engkau menipu diri sendiri. Kau kira keluarga Abdi Manaf akan membiarkanmu merajalela begini sesudah engkau membunuh Muhammad? Tidak, lebih baik kau pulang saja ke rumah dan perbaiki keluargamu sendiri!" Pada waktu itu Fatimah, saudaranya, beserta Sa'id bin Zaid suaminya sudah masuk Islam. Setelah mengetahui hal ini dari Nu'aim, Umar cepat-cepat pulang dan langsung menemui mereka. Di tempat itu ia mendengar ada orang membaca Al-Qur'an. Setelah merasa ada orang yang sedang mendekati, orang yang membaca itu sembunyi dan Fatimah menyembunyikan lembaran yang dibawanya. "Aku mendengar suara bisik-bisik apa itu?" tanya Umar. Karena mereka tidak mengakui, Umar membentak lagi dengan suara lantang. "Aku sudah mengetahui, kamu menjadi pengikut Muhammad dan menganut agamanya!" katanya sambil menghantam Sa'id keras-keras. Fatimah, yang berusaha hendak melindungi suaminya, juga mendapat pukulan keras. Kedua suami isteri itu marah. "Ya, kami sudah Islam. Sekarang lakukan apa saja maumu!" teriak mereka. Namun Umar jadi gelisah sendiri setelah melihat darah di muka saudaranya itu. Ketika itu juga lalu timbul rasa iba dalam hatinya. Ia menyesal. Dimintanya kepada saudaranya supaya lembaran yang mereka baca itu diberikan kepadanya. Setelah membacanya, wajah Umar tiba-tiba berubah. Ia merasa menyesal sekali atas perbuatannya. Bergetar jiwanya setelah membaca isi lembaran itu. Ada sesuatu yang luar biasa dan agung yang ia rasakan. Ada sebuah seruan yang begitu luhur. Sikapnya jadi lebih bijaksana. Ia keluar membawa hati yang sudah lembut dan jiwa yang tenang. Ia langsung menuju ke tempat Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya berkumpul di Shafa. Ia meminta izin masuk, lalu menyatakan dirinya masuk Islam. Dengan adanya Umar dan Hamzah dalam barisan Islam, maka kaum Muslimin mendapat benteng dan perisai yang lebih kuat. Dengan Islamnya Umar, kedudukan Quraisy menjadi lemah. Mereka kembali mengadakan pertemuan guna menentukan langkah lebih lanjut. Sebenarnya peristiwa ini telah memperkuat kedudukan kaum Muslimin, telah memberikan unsur baru berupa kekuatan yang luar biasa yang menyebabkan kedudukan Quraisy terhadap kaum Muslimin dan kedudukan mereka terhadap Quraisy sudah tidak seperti dulu lagi. Keadaan kedua belah pihak ini kemudian diteruskan oleh suatu perkembangan politik baru; penuh dengan peristiwa, pengorbanan dan kekerasan hingga menyebabkan terjadinya hijrah dan munculnya Muhammad sebagai politikus di samping sebagai Nabi dan Rasul.
- Kedua orang utusan itu adalah Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah. Kepada Najasyi dan para pembesar istana mereka mempersembahkan hadiah-hadiah dengan maksud agar mereka sudi mengembalikan orang-orang yang hijrah dari Makkah itu. "Paduka Raja," kata mereka, "Penduduk Makkah yang datang ke negeri paduka ini adalah budak-budak kami yang tidak punya malu. Mereka meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula menganut agama paduka. Mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga paduka. Kami diutus kepada paduka oleh pemimpin-pemimpin mereka, oleh orang-orang tua, paman mereka dan keluarga mereka sendiri, supaya paduka sudi mengembalikan orang-orang itu." Sebenarnya kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan dengan pembesar-pembesar istana, setelah menerima hadiah-hadiah dari penduduk Makkah, mereka akan membantu usaha mengembalikan kaum Muslimin itu kepada pihak Quraisy. Pembicaraan mereka ini tidak diketahui raja. Tetapi baginda menolak sebelum mendengar sendiri keterangan dari pihak Muslimin. Lalu dimintanya mereka datang menghadap. "Agama apa ini yang sampai membuat tuan-tuan meninggalkan masyarakat tuan-tuan sendiri, tetapi tidak juga tuan-tuan menganut agamaku, atau agama lain?" tanya Najasyi setelah mereka datang. Yang diajak bicara ketika itu ialah Ja'far bin Abi Thalib. "Paduka Raja," katanya, "Ketika itu kami masyarakat yang bodoh, kami menyembah berhala, bangkai pun kami makan. Segala kejahatan kami lakukan, memutuskan hubungan dengan kerabat, dengan tetangga pun kami tidak baik, yang kuat menindas yang lemah. Demikian keadaan kami, sampai Tuhan mengutus seorang rasul dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal usulnya, dia jujur, dapat dipercaya dan bersih pula." Ja'far melanjutkan, "Ia mengajak kami menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang selama itu kami sembah. Ia menganjurkan kami untuk tidak berdusta untuk berlaku jujur serta mengadakan hubungan keluarga dan tetangga yang baik, serta menyudahi pertumpahan darah dan perbuatan terlarang lainnya. Ia melarang kami memakan harta anak yatim atau mencemarkan wanita-wanita yang bersih. Ia meminta kami menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Selanjutnya kami disuruh melakukan shalat, membayar zakat dan berpuasa." "Karena itulah, tambah Ja'far, "Masyarakat kami memusuhi kami, menyiksa dan menghasut supaya meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala, kembali membenarkan segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu. Oleh karena mereka memaksa, menganiaya, menekan dan menghalang-halangi kami dari agama kami, maka kami pun keluar pergi ke negeri tuan ini. Tuan jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di dekat tuan, dengan harapan di sini takkan ada penganiayaan." "Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat tuan-tuan bacakan kepada kami?" tanya Raja itu lagi. "Ya," jawab Ja'far, lalu membacakan Surah Maryam dari ayat pertama sampai pada firman Allah: "...maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: 'Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?' Berkata Isa, 'Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali!" (QS Maryam: 29-33). Setelah mendengar bahwa keterangan itu membenarkan apa yang tersebut dalam Injil, pemuka-pemuka istana terkejut. "Kata-kata yang keluar dari sumber yang mengeluarkan kata-kata Yesus Kristus," kata mereka. Najasyi lalu berkata (kepada kedua orang utusan Quraisy), "Kata-kata ini dan yang dibawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama. Tuan-tuan pergilah. Kami takkan menyerahkan mereka kepada tuan-tuan!" Keesokan harinya Amr bin Ash kembali menghadap Raja dengan mengatakan bahwa kaum Muslimin mengeluarkan tuduhan yang luar biasa terhadap Isa anak Maryam. "Panggillah mereka dan tanyakan apa yang mereka katakan itu!" perintah Najasyi. Setelah mereka datang, Ja'far berkata, "Tentang dia, pendapat kami seperti yang dikatakan Nabi kami. Dia adalah hamba Allah dan utusan-Nya, ruh-Nya dan firman-Nya yang disampaikan kepada perawan Maryam." Najasyi lalu mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di lantai. Dan dengan gembira berkata, "Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini." Setelah mendengar keterangan dari kedua belah pihak, nyatalah bagi Najasyi, bahwa kaum Muslimin itu mengakui Isa, mengenal adanya Kristen dan menyembah Allah. Selama di Abisinia kaum Muslimin merasa aman dan tenteram. Ketika kemudian disampaikan kepada mereka, bahwa permusuhan pihak Quraisy sudah berangsur reda, mereka lalu kembali ke Makkah untuk pertama kalinya. Sementara Rasulullah SAW pun masih di Makkah.
Sejarah Hidup Muhammad SAW: Hijrah yang Pertama
Sikap dan kata-kata keponakannya itu oleh Abu Thalib disampaikan kepada Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Dimintanya supaya Muhammad dilindungi dari tindakan Quraisy. Mereka semua menerima usul ini, kecuali Abu Lahab. Ia terang-terangan menyatakan permusuhannya. Abu Lahab menggabungkan diri dengan pihak lawan.
Periode yang dilalui Muhammad SAW ini adalah periode paling dahsyat yang pernah dialami oleh sejarah umat manusia. Baik Muhammad atau mereka yang menjadi pengikutnya, bukanlah orang-orang yang menuntut harta kekayaan, kedudukan atau kekuasaan, melainkan orang-orang yang menuntut kebenaran.
Nabi Muhammad adalah orang yang mengharapkan bimbingan bagi mereka yang mengalami penderitaan, dan membebaskan mereka dari belenggu paganisme yang rendah, yang menyusup ke dalam jiwa manusia sampai ke lembah kehinaan yang sangat memalukan.
Demi tujuan rohani yang luhur itulah, Rasulullah mengalami siksaan. Penyair-penyair memakinya, orang-orang Quraisy berkomplot hendak membunuhnya di Ka'bah. Rumahnya dilempari batu, keluarga dan pengikut-pengikutnya diancam. Namun itu semua malah membuat beliau makin tabah dan gigih meneruskan dakwah.
Pada suatu hari Abu Jahal bertemu dengan Muhammad SAW, ia mengganggunya, memaki-makinya dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Namun Rasulullah tidak melayaninya. Ditinggalkannya Abu Jahal tanpa sepatah kata pun.
Hamzah, pamannya dan saudaranya sesusuan, yang masih berpegang pada kepercayaan Quraisy, adalah seorang laki-laki yang kuat dan ditakuti. Ia mempunyai kegemaran berburu. Bila ia kembali dan berburu, terlebih dulu mengelilingi Ka'bah sebelum langsung pulang ke rumahnya.
Hari itulah ia mengetahui bahwa keponakannya mendapat gangguan Abu Jahal. Ia marah dan langsung pergi ke Ka’bah dan menemui Abu Jahal. Setelah dijumpainya, diangkatnya busurnya lalu dipukulkannya keras-keras di kepala Abu Jahal. Beberapa orang dan Bani Makhzum mencoba membela Abu Jahal. Namun tidak jadi. Mereka khawatir akan timbul bencana yang membahayakan.
Setelah itulah kemudian Hamzah menyatakan masuk Islam. Ia berjanji kepada Muhammad akan membelanya dan akan berkorban di jalan Allah sampai akhir hayatnya.
Pihak Quraisy merasa sesak dada melihat Muhammad dan kawan-kawannya makin hari makin kuat. Di samping itu, gangguan dan siksaan yang dialamatkan kepada mereka, tidak dapat mengurangi iman mereka dan tidak dapat menghalangi mereka melakukan kewajiban agama.
Terpikir oleh Quraisy akan membebaskan diri dari Muhammad, dengan cara seperti yang mereka bayangkan, memberikan segala keinginannya. Mereka rupanya lupa bahwa keagungan dakwah Islam, kemurnian esensi ajaran ruhaninya yang begitu tinggi, berada di atas segala pertentangan ambisi politik.
Utbah bin Rabiah, seorang bangsawan Arab terkemuka, mencoba membujuk Quraisy ketika mereka bertemu dan mengatakan bahwa ia akan bicara dengan Muhammad dan menawarkan hal-hal yang barangkali mau diterimanya. Mereka mau memberikan apa saja kehendaknya, asal ia dapat dibungkam.
Ketika itulah Utbah bicara dengan Muhammad. "Anakku," katanya, "Seperti kau ketahui, dari segi keturunan, engkau mempunyai tempat di kalangan kami. Engkau telah membawa soal besar ke tengah-tengah masyarakatmu, sehingga mereka cerai-berai karenanya. Sekarang dengarkanlah, kami akan menawarkan beberapa hal, kalau-kalau sebagian dapat kau terima. Kalau dalam hal ini yang kau inginkan adalah harta, kami pun siap mengumpulkan harta kami. Sehingga hartamu akan menjadi yang terbanyak di antara kami. Kalau kau menghendaki kedudukan, kami angkat engkau di atas kami semua. Kami takkan memutuskan suatu perkara tanpa persetujuanmu. Kalau kedudukan raja yang kau inginkan, kami nobatkan kau sebagai raja kami."
Selesai ia bicara, Muhammad membacakan Surah As-Sajdah. Utbah terdiam mendengarkan kata-kata yang begitu indah itu. Dilihatnya sekarang yang berdiri di hadapannya itu bukanlah seorang laki-laki yang didorong oleh ambisi harta, kedudukan atau kerajaan, juga bukan orang yang sakit, melainkan orang yang mau menunjukkan kebenaran, mengajak orang kepada kebaikan. Ia mempertahankan sesuatu dengan cara yang baik, dengan kata-kata penuh mukjizat.
Selesai Muhammad SAW membacakan itu, Utbah pergi kembali kepada Quraisy. Apa yang dilihat dan didengarnya itu sangat memesonakan dirinya. Ia terpesona karena kebesaran orang itu. Penjelasannya sangat menarik sekali. Penjelasan Utbah ini tidak menyenangkan pihak Quraisy. Juga pendapatnya supaya Muhammad dibiarkan saja, tidak menggembirakan mereka.
Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi, sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya. Waktu itu Nabi SAW menyarankan supaya mereka berpencar-pencar. Ketika mereka bertanya kepadanya kemana mereka akan pergi, Rasulullah menasihati supaya mereka pergi ke Abisinia yang rakyatnya menganut agama Kristen. "Tempat itu diperintah seorang raja dan tak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi jujur, sampai nanti Allah membukakan jalan buat kita semua," kata Rasulullah.
Sebagian kaum Muslimin lalu berangkat ke Abisinia guna menghindari fitnah dan tetap mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melakukan dua kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar dari Makkah mencari perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat yang baik di bawah Najasyi, penguasa Abisinia.
Ketika kemudian tersiar berita bahwa kaum Muslimin di Makkah telah selamat dari gangguan Quraisy, mereka pun lalu kembali pulang. Namun ternyata mereka mengalami kekerasan lagi dari Quraisy, melebihi yang sudah-sudah. Mereka pun kembali lagi ke Abisinia. Kali ini terdiri dari delapan puluh orang pria tanpa kaum istri dan anak-anak. Mereka tinggal di Abisinia hingga Nabi SAW hijrah ke Yatsrib.
- Sejarah Hidup Muhammad SAW: Sang Nabi Terakhir
Khadijah pergi menjumpai saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal. Waraqah adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Injil dan sudah pula menerjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab. Khadijah menuturkan apa yang dilihat dan didengar Muhammad.
Waraqah menekur sebentar, kemudian berkata, "Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang hidup Waraqah. Khadijah, percayalah! Dia telah menerima Namus Besar seperti yang pernah diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah!"
Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia menggigil, napasnya terlihat sesak dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya malaikat datang membawakan wahyu kepadanya: "Hai orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmu pun bersihkan. Dan hindarkan perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu." (QS Al-Muddatstsir: 17).
"Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah," katanya. "Jibril membawa perintah supaya aku memberi peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya mereka beribadah hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?"
Sesudah peristiwa itu, pada suatu hari Muhammad pergi akan mengelilingi Ka'bah. Di tempat itu Waraqah menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqah berkata, "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqah. Engkau adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahui-Nya pula."
Sekarang Rasulullah SAW berpikir, bagaimana akan mengajak Quraisy supaya turut beriman, padahal ia tahu benar mereka sangat kuat mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia berperang dan mati untuk itu. Ditambah lagi mereka masih sekeluarga dan sanak famili yang dekat.
Sementara ia dalam kekhawatiran, sesudah sekian lama terhenti, tiba-tiba datang Jibril membawa firman Allah: "Demi pagi cerah yang gemilang. Dan demi malam bila senyap kelam. Tuhanmu tidak meninggalkan kau, juga tidak merasa benci. Dan sungguh, hari kemudian itu lebih baik buat kau daripada yang sekarang. Dan akan segera ada pemberian dari Tuhan kepadamu. Maka engkau pun akan bersenang hati. Bukankah Ia mendapati kau seorang yatim, lalu diberi-Nya tempat berlindung? Dan Ia mendapati kau tak tahu jalan, lalu diberi-Nya kau petunjuk? Karena itu, terhadap anak yatim, jangan kau bersikap bengis. Dan tentang orang yang meminta, jangan kau tolak. Dan tentang kurnia Tuhanmu, hendaklah kau sebarkan." (QS Adh-Dhuha: 1-11)
Allah SWT kemudian mengajarkan Nabi shalat, maka ia pun shalat, Khadijah ikut pula shalat. Selain puteri-puterinya, tinggal bersama keluarga itu Ali bin Abi Talib sebagai anak muda yang belum baligh.
Tatkala Muhammad dan Khadijah sedang shalat, tiba-tiba Ali menyeruak masuk. Dilihatnya kedua orang itu sedang ruku' dan sujud serta membaca beberapa ayat Al-Qur'an yang sampai pada waktu itu sudah diwahyukan kepadanya.
Ali berdiri tertegun, "Kepada siapa kalian sujud?" tanyanya setelah selesai shalat.
"Kami sujud kepada Allah," jawab Nabi SAW. "Yang mengutusku menjadi nabi dan memerintahkan aku mengajak manusia menyembah Allah."
Lalu Muhammad pun mengajak sepupunya itu beribadah kepada Allah semata, tiada bersekutu serta menerima agama yang dibawa Nabi utusan-Nya, dengan meninggalkan berhala-berhala semacam Lata dan Uzza. Muhammad lalu membacakan beberapa ayat Qur'an. Ali sangat terpesona karena ayat-ayat itu luar biasa indahnya.
Sejarah Hidup Muhammad SAW: Pemilik Gelar Al-Amin
Muhammad tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Makkah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pasar-pasar yang berdekatan dengan Ukaz, Majanna dan Dzu'l Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu'allaqat.
Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak ia masih anak-anak, gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hatinya, sudah tampak. Sehingga semua penduduk Makkah memanggilnya Al-Amin (yang dapat dipercaya).
Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, adalah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Dengan gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata, "Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing. Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing. Aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad."
Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam demikian, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu. Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya sendiri.
Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh sebab itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya, Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Makkah, dan memang begitu adanya: Al-Amin.
Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung. Dan kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan memang tidak pernah memedulikan hal itu. Dalam hidupnya ia memang menjauhkan diri dari segala pengaruh materi.
Bukankah dia juga yang pernah berkata, "Kami adalah golongan yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak sampai kenyang?" Bukankah dia juga yang sudah dikenal orang hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara hidup yang mengejar harta dengan serakah demi pemenuhan hawa nafsu, sama sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama hidupnya.
Suatu ketika ia mendengar berita, bahwa Khadijah binti Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Bani) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali menikah dengan keluarga Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Makkah terkaya. Ia menjalankan bisnisnya dengan bantuan sang ayah, Khuwailid, dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya.
Tatkala Abu Thalib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil keponakannya—yang ketika itu sudah berumur dua puluh lima tahun.
"Anakku," kata Abu Thalib, "Aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"
"Terserah paman," jawab Muhammad.
Abu Talib pun pergi mengunjungi Khadijah:
"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Thalib. "Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."
"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai." Demikian jawab Khadijah.
Kembalilah sang paman kepada keponakannya dengan menceritakan peristiwa itu. "Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu," katanya.
Setelah mendapat nasihat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itu pun berangkat menuju Syam. Perjalanan ini menghidupkan kembali kenangannya tentang perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini membuatnya lebih banyak bermenung, berpikir tentang segala yang pernah dilihat dan didengar sebelumnya; tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-pasar sekeliling Makkah.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara bisnis yang lebih menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Setelah tiba waktunya kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Mar'z Zahran. Ketika itu Maisara berkata, "Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."
Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Makkah. Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya, ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan.
Sesudah itu, Maisara pun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tinggi budi pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Makkah yang besar jasanya.
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia—yang sudah berusia empat puluh tahun dan telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy—tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan—kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa binti Munya—kata sumber lain.
Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata, "Kenapa kau tidak mau kawin?"
"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan," jawab Muhammad.
"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kau terima?"
"Siapa itu?"
Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata, "Khadijah!"
"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.
Setelah pertanyaan itu Nufaisa berkata, "Serahkan hal itu kepadaku."
Maka Muhammad pun menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari pernikahan.
Kemudian pernikahan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.
Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan sebagai suami-isteri dan ibu-bapak. Suami-isteri yang harmonis dan sebagai ibu-bapak yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak, sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapak ketika masih kecil.
Sejarah Hidup Muhammad SAW: Ditinggal Orang-Orang Terkasih
Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan.
Sesudah lima tahun, Muhammad kembali kepada ibunya. Kemudian Abdul Muthalib mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya dengan sungguh-sungguh dan mencurahkan kasih sayangnya kepada cucu ini.
Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Madinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar.
Dalam perjalanan itu dibawanya juga Ummu Aiman, budak perempuan yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Madinah, kepada anak itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim.
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Madinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Makkah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa', ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan pula di tempat itu.
Anak itu oleh Ummu Aiman dibawa pulang ke Makkah, pulang menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan menjadi anak yatim. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari ibundanya keluhan duka kehilangan ayah semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri di hadapannya, sang ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayahnya dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.
Lebih-lebih lagi kecintaan Abdul Muthalib kepadanya. Tetapi sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih menggurat dalam jiwanya sehingga di dalam Qur'an pun disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: "Bukankah engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakan-Nya orang yang akan melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkan-Nya jalan itu?" (QS Adh-Dhuha: 6-7)
Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan juga sedikit, sekiranya Abdul Muthalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal, dalam usia delapan puluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ke tempat peraduan terakhir.
Bahkan sesudah itu pun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah itu, di bawah asuhan Abu Thalib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang baik sekali. mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian hingga pamannya itu pun akhirnya meninggal.
Pengasuhan Muhammad dipegang oleh Abu Thalib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harits, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena itu, ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Thalib mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak pula mengherankan kalau Abdul Muthalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepadanya.
Abu Thalib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abdul Muthalib juga. Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.
Pernah pada suatu ketika ia akan pergi ke Syam membawa dagangan—ketika itu usia Muhammad baru duabelas tahun—mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan membawa Muhammad. Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas menyatakan akan menemani pamannya itu. Hal inilah yang menghilangkan sikap ragu-ragu dalam hati Abu Thalib.
Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikhawatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.
Tampaknya Abu Thalib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Makkah mengasuh anak-anaknya yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa.
Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.
Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak Keluarga Sa'ad itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapaknya, "Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikkan."
Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan. Halimah berkata, "Lalu saya pergi dengan ayahnya (suaminya) ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan, 'Kenapa kau, Nak?' Dia menjawab, 'Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku dibedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari."
Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Makkah.
Atas peristiwa ini Ibnu Ishaq membawa sebuah hadits Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibnu Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan—seperti cerita Halimah kepada Aminah—ketika ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia memerhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu.
Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata, "Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya."
Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu.
Baik kaum orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Muhammad waktu itu.
Akan tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah-tengah Keluarga Sa'ad itu sampai mencapai usia lima tahun. Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu, beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya.
Dalam hal ini, Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan pada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf. Dan kalau hal itu tidak sampai mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik.
Barangkali yang lain pun akan mengatakan, baginya tidak diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau dadanya. Sebab sejak dilahirkan, Tuhan sudah mempersiapkannya supaya menjalankan risalah-Nya. Dermenghem berpendapat, cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi, "Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?" (QS Al-Insyirah: 1-3).
Apa yang telah diisyaratkan Qur'an itu adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala beban karena Risalah yang berat itu.
Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat perikemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib.
Dengan demikian, mereka beralasan sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh Al-Qur'an supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan ekspresi Qur'an tentang kaum Musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.
Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'ad sampai mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia berkata kepada teman-temannya kemudian, "Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa'ad bin Bakr."
Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang. Yakni, bahwa sementara ia dengan saudaranya yang sebaya itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak Keluarga Sa'ad itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapaknya, "Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikkan."
Dan tentang Halimah ini ada juga diceritakan. Halimah berkata, "Lalu saya pergi dengan ayahnya (suaminya) ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan, 'Kenapa kau, Nak?' Dia menjawab, 'Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku dibedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari."
Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Makkah.
Atas peristiwa ini Ibnu Ishaq membawa sebuah hadits Nabi sesudah kenabiannya. Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibnu Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan—seperti cerita Halimah kepada Aminah—ketika ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia memerhatikan Muhammad dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu.
Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata, "Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya."
Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu.
Baik kaum orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya. Begitu juga umur Muhammad waktu itu.
Akan tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah-tengah Keluarga Sa'ad itu sampai mencapai usia lima tahun. Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu, beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya.
Dalam hal ini, Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan pada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf. Dan kalau hal itu tidak sampai mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik.
Barangkali yang lain pun akan mengatakan, baginya tidak diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau dadanya. Sebab sejak dilahirkan, Tuhan sudah mempersiapkannya supaya menjalankan risalah-Nya. Dermenghem berpendapat, cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi, "Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?" (QS Al-Insyirah: 1-3).
Apa yang telah diisyaratkan Qur'an itu adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala beban karena Risalah yang berat itu.
Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat perikemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib.
Dengan demikian, mereka beralasan sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang diminta oleh Al-Qur'an supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan ekspresi Qur'an tentang kaum Musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.
Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'ad sampai mencapai usia lima tahun, menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia berkata kepada teman-temannya kemudian, "Aku yang paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga Sa'ad bin Bakr."
Aminah pun hamil, dan kemudian, seperti wanita lain ia pun melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abdul Muthalib di Ka'bah, bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki.
Alangkah gembiranya orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka'bah. Ia diberi nama Muhammad.
Nama ini tidak umum di kalangan orang Arab tapi cukup dikenal. Kemudian dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. Kini mereka sedang menantikan orang yang akan menyusukannya dari Keluarga Sa'ad (Banu Sa'ad), untuk kemudian menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang dari mereka, sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan Arab di Makkah.
Mengenai tahun ketika Muhammad dilahirkan, beberapa ahli berlainan pendapat. Sebagian besar mengatakan pada Tahun Gajah (570 Masehi). Ibn Abbas mengatakan ia dilahirkan pada Tahun Gajah itu. Yang lain berpendapat kelahirannya itu limabelas tahun sebelum peristiwa gajah. Selanjutnya ada yang mengatakan ia dilahirkan beberapa hari atau beberapa bulan atau juga beberapa tahun sesudah Tahun Gajah. Ada yang menaksir tiga puluh tahun, dan ada juga yang menaksir sampai tujuhpuluh tahun.
Juga para ahli berlainan pendapat mengenai bulan kelahirannya. Sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabiul Awal. Ada yang berkata lahir dalam bulan Muharam, yang lain berpendapat dalam bulan Safar, sebagian lagi menyatakan dalam bulan Rajab, sementara yang lain mengatakan dalam bulan Ramadan.
Perbedaan pendapat itu juga mengenai hari bulan ia dilahirkan. Satu pendapat mengatakan pada malam kedua Rabiul Awal, atau malam kedelapan, atau kesembilan. Tetapi pada umumnya mengatakan, bahwa dia dilahirkan pada tanggal duabelas Rabiul Awal. Ini adalah pendapat Ibn Ishaq dan yang lain.
Pada hari ketujuh kelahirannya itu Abdul Muthalib minta disembelihkan unta. Hal ini kemudian dilakukan dengan mengundang makan masyarakat Quraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa ia tidak suka memakai nama nenek moyang. "Kuinginkan dia akan menjadi orang yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi," jawab Abdul Muthalib.
Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang Keluarga Sa'ad yang akan menyusukan anaknya, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Makkah. Adat demikian ini masih berlaku pada bangsawan-bangsawan Makkah. Pada hari kedelapan sesudah dilahirkan anak itu pun dikirimkan ke pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah ia berumur delapan atau sepuluh tahun. Di kalangan kabilah-kabilah pedalaman yang terkenal dalam menyusukan ini di antaranya ialah kabilah Banu Sa'ad.
Sementara masih menunggu orang yang akan menyusukan itu Aminah menyerahkan anaknya kepada Thuwaiba, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Selama beberapa waktu ia disusukan, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan.
Akhirnya datang juga wanita-wanita Keluarga Sa'ad yang akan menyusukan itu ke Makkah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Akan tetapi mereka menghindari anak-anak yatim. Sebenarnya mereka masih mengharapkan sesuatu jasa dari sang ayah.
Sedang dari anak-anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. Oleh karena itu, di antara mereka itu tak ada yang mau mendatangi Muhammad. Mereka akan mendapat hasil yang lumayan bila mendatangi keluarga yang dapat mereka harapkan.
Akan tetapi Halimah binti Abi Dzua'ib yang pada mulanya menolak Muhammad, seperti yang lain-lain juga, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai gantinya. Di samping itu karena dia memang seorang wanita yang kurang mampu, ibu-ibu lain pun tidak menghiraukannya.
Setelah sepakat mereka akan meninggalkan Makkah. Halimah berkata kepada Harits bin Abdul Uzza suaminya, "Tidak senang aku pulang bersama dengan teman-temanku tanpa membawa seorang bayi. Biarlah aku pergi kepada anak yatim itu dan akan kubawa juga."
"Baiklah," jawab suaminya. "Mudah-mudahan karena itu Tuhan akan memberi berkah kepada kita."
Halimah kemudian mengambil Muhammad dan dibawanya pergi bersama-sama dengan teman-temannya ke pedalaman. Dia bercerita, bahwa sejak diambilnya anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan susunya pun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada padanya.
Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima', puterinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat sekali menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya.
Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu membawanya kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya, kata sebuah keterangan. Dan keterangan lain mengatakan karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga memang dikhawatirkan adanya serangan wabah Makkah.
No comments:
Post a Comment